Rabu, 08 September 2010

NYANYIAN RINDU SERUNI

NYANYIAN RINDU SERUNI
Hasyim Ahmadi  
Sesekali ku tebar senyum pada tamu ku, ya begitu lah pekerjaan ku, aku berada di front office, sebuah gedung olahraga mewah, kebanyakan yang berkantong tebal juga para pebisnis. Olahraga yang tak pernah ku bayangkan untuk bisa memainkan nya, apalagi berada di lapangan itu. “Ya“, hanya saja secara kebetulan aku berada dan bekerja di tempat mewah, tempat orang yang berkantong tebal menghabiskan waktu dan berbisnis, atau juga sekedar olahraga. Bola kecil putih dan lapangan luas, hanya samar ku dengar berita di Koran, kalau lapangan golf itu di bangun di atas penderitaan orang-orang susah dan miskin,  lapangan olahraga yang berpondasi tulang belulang orang melarat, “Apa benar seperti itu ?” Kini aku berdiri tepat di sini, atau barangkali jika benar, pada malam hari suasana nya  seram seperti film-film horor indonesia, “ film horor Indonesia, yang menggelikan bukan menakut kan.“ Ya tapi tetap ku tonton…film Indonesia, walau tak se horor Indonesia ku dan kisah ku ini. Gedung dan lapangan mewah nan megah, di hantui kaum melarat, yang mungkin lapangan golf itu bisa di tempati ribuan warga miskin, “ sungguh luar biasa !”. Orang –orang kaya di negara ku ini, bisa membeli kesenangan kaum melarat. Hanya untuk memukul kan tongkat sakti nya ke lubang.
Kala itu memang sangat lah muda usia ku. Ya terasa sekali usia muda, satu tahun aku menjalani pacaran dengan nya. Usia 21 tahun kami menikah dengan lelaki pilihan ku “ Bibin, setiap kali memanggil nya”, keluarga ku memang tidak setuju dengan nya, namun aku coba menyakin kan kisah cinta ku dengan nya pada kelurga ku. Atas alasan cinta aku menjadi kuat hidup bersama nya.  Hari demi hari ku lewati,  ku pendam roman ketidak puasan ku dan penderitaan ku.  Terasa dan mulai pahit getir nya hidup ku rasakan. Aku di boyong ke keluarga nya dan hidup se atap dengan kelurga lelaki pilihan ku, segenap rasa senang dan pahit hanya ku rasakan dan ku jadikan pelajaran hidup. Aku, Ibu dan ayah mertua serta 1 orang adik nya, walau terasa berat ku hadapi aku pun berangkat ke kediaman baru ku. Atap keluarga baru ku dengan wajah dan karakter yang baru pula, suami ku anak ke 3 dari 4 bersaudara, laki-laki satu-satu nya di keluraga, ia bekerja sebagai seorang marketing handal di salah satu perusahaan Malaysia yang bergerak di bidang prodak prodak kesehatan. Kembali ku bercerita pada seseorang melalui benda kecil yang di sebut handphone,  siang itu tepat jam 13.12 menit, 6 september, empat hari menjelang lebaran. Wuih sungguh luar biasa,  bulan penuh berkah, rahmat dan ampunan itu. Tapi tiap kali ku ingat dia, hanya sesal dan penderintaan yang ku ingat, memang tadi tak sedikit pun ku ceritakan hal-hal yang menyenangkan ketika ku bersama nya, hanya cacian dan makian yang ku sebut. Sesekali ku tinggal kan lawan bicara ku, karna posisi ku saat bercerita sedang memainkan papan keyboard, gaul dan trend anak muda sekarang, fesbuk Ya!, ku sambi lawan bicara ku dengan chating, aku pun mencoba jujur dan bersikap apa ada nya dengan cerita ku, mungkin kawan yang mendengarkan cerita ku juga menilai ku tentang apa yang telah ku ceritakan. Sungguh berat ku ceritakn pengalaman hidup ku, tapi biarlah, semoga saja menjadi hikmah tersendiri bagi yang lain nya.    
KU RINDU KE DUA ANAK KU
Tiga puluh tujuh tahun kini berlalu, dua orang anak kecil yang sedang berlari mengingat kan ku akan orang yang ku kasihi, sambil ku rapih kan tempat tidur ku, sinar matahari membelah, semakin meruang sinar nya memaksa masuk kamar tidur ku, kembali ku mengintip lewat jendela, dua  orang anak kecil yang belari menuju sekolah nya. menari-nari dan kadang meloncat-loncat itu. Ia menggodaku?” Aku teringat cerita yang hampir terlupakan tentang orang yang kini ku tinggal kan.  Menggoda seorang perempuan, “ya” di tempat bola putih kecil itu menggelinding. Tempat nya harapan-harapan orang melarat terkubur. Di sana pula lah cinta ku bersama nya tumbuh, cinta ku tumbuh di padang golf yang berpondasikan keringat dan tulang belulang kaum dhuafa, tulang-tulang manusia terjajah.
“Jangan sekali-kali engkau memainkan perasaan hatimu!”
dan mengatakan !“
cinta ku untuk mu seorang.
 “ Aku hanya mengingat kan kalian!”,
jangan pernah merasakan apa yang sudah ku rasakan “.
“Mengapa diam saja?
Tak boleh aku berkata tentang sesuatu?”
 Terus saja ku rapih kan bibir ku dengan sebatang gincu merah tipis, barangkali cermin buluk iu mentertawai ku, setiap kali ku membatin dengan nya. Setiap kali ku sesali peristiwa yang menyesak kan hati seolah cermin berubah seperti comberan di belakang rumah yang bau. Aku menangkap sinisme dari cermin buluk ku, dari pernyataan itu. Cermin buluk ku pun tak setuju untuk mengenang nya dia hanya berharap aku akan maju menatap masa kini untuk berjalan ke depan. Ya. Barangkali untuk kamu. Karena kamu anak yang tak pernah bergulat dengan comberan di belakang rumah ku dan setiap kali air nya mampet, maka aku lah yang menjadi korban, untuk membersih kan nya,” jelas cermin““Ya kamu tahu itu. Tapi jangan begitu. Bukankah aku mencintaimu? Dan kamu?” Bibin tak ragu mencintai Seruni, gadis yang akrab sekali dengan comberan bau di belakang rumah nya, “apakah kamu lelaki, keturunan hewan yang berbuntut itu? Tanya cermin, pada seruni !” Seruni mengambil, boneka barbie dan mobil-mobil-an yang hampir rusak. Benda yang selalu mengingat kan akan kerinduan ku pada-anak-anak ku. Aku ingat sekali, aku belikan ia mainan, Untuk putri ku yang tercantik ku, dan sang jagoan ku hadiai mobil-mobilan, ku berharap kelak ia akan menjaga mama nya di kala tua nanti, begitu pun boneka yang ku berikan pada puteri ku, kasih dan sayang nya untuk mu berdua, kenapa ku berkata berdua!, tanpa ayahnya anak-anak?... Aku memiliki alasan sendiri, barangkali di usia yang sudah menjelang akil baligh, kedua anak ku pun merasakan hal yang ganjil. Kenapa ayah ibu tidak tinggal seatap dengan kami. Sudah hampir dua tahun aku meninggal kan keluarga ku, aku tak mau di bohongi oleh keterpaksaan yang tidak membuat ku dewasa. Aku sudah muak di bohongi, dan aku merasakan hal yang tidak mengenakan, perasaan hati yang mengganjal . Gaji yang ku dapat dari bekerja ku membantu suami, tak lupa aku membelikan Arjuna dan Srikandi ku, hilang semua rasa capek dan sakit ku ketika ku dapat membahagiakan anak-anak ku. Sebatas bayangan semu, saat ini yang dapat ku ingat, dan cermin buluk ku, seperti mencibir kembali.
 “Kenapa kau masih seperti itu ?”
“ Aku tak bisa lari dari bayangan ke rinduan ku !“
“Itu sudah resiko, terima dan jalani apa yang sudah menjadi keputusan mu!”.
Tanpa kusadari, air mata ku menetes, membasahi boneka anak ku, “. Cengeng benar aku ini!, “ Aku ini wanita kuat yang tak boleh menangis, aku ini kuat!...aku ini kuat, menguatkan hati ku yang mulai lemah, karena deraian air mata,
“kenapa aku ini ?”
“ka ! terdengar pelan suara dari luar kamar Seruni memanggil.
“Ayo!  Cepat!,  mau bareng enggak!”
“Ya, tunggu!” sambil bergegas merapih kan tas, dengan dandanan yang masih kurang sempurna,. Seruni lari keluar kamar sambil melambaikan tangan pada cermin buluk nya.
“ka !, ngapain aja sih, ko lama banget di kamar ?”
“nama nya juga perempuan, kalo bukan dandan emang nya ngapain ?”
“ iya perempuan sih perempuan, aku juga perempuan tapi ga lama-lama amat !”. “kakak nangis ya ?”
“ Ah ! udah ah, bawel amat sih ! “
Angkot meluncur mengantar kan kegelisan Seruni yang terbawa, hingga ia turun. Jelas tergambar dari raut wajah menekuk bibir nya, tak mengeluarkan aura senyuman, dan ketulusan ekpresi yang damai. ekpresi yang menahan beban hati, kesedihan yang memancarkan aura emosional yang tak tertata.
 AKU di ANTARA IBU MERTUA dan SUAMI KU
 “Yah, mau kemana ?”...dengan wajah pucat dan penuh harap bakal di sapa, “ Mau ke rumah Ibu !” aku melarang nya untuk pergi, aku juga wanita sama seperti ibu mu. Badan ku yang sejak kemarin kurang enak badan dan lemas, berharap ada sapa’an kasih sayang darinya, dan itu sangat ku harap kan sekali menemani ku di kala sakit, semoga saja bisa menjadi obat dan penghibur ku di kala ku sedang sakit. Tapi pilihan nya berbeda, ia berkunjung ke rumah ibu nya, sehari setelah ia pulang dari rumah ibu, aku pun coba menguatkan diri dan menjadi sehat, lantaran keadaan lah yang mendokteri ku untuk sehat.
“ yah…! Kemana aja sih kamu ?”. dengan wajah yang dingin dan tanpa merasa berdosa “ Aku kan menengok ibu ku !,
“ sebenar nya apa sih mau mu ?...”, dengan nada tinggi sedikit menghardik ku !,
 sebenar nya ia tahu kala itu aku sedang sakit, namun sikap acuh nya membuat adrenalin kemarahan ku memuncak dan mendorong ku untuk mengindah kan rasa  sakit ku, dalam hati “ bangsat sialan juga lelaki ini, ga tau apa kalau gue ini lagi sakit, “ ku hanya berharap mendapat belaian dan kasih sayangnya, itu akan mengobati rasa sakit ku. Aku tak mengira bakal terjadi berantem hebat,  antara aku dan suami ku.” Pikir ku “ Apakah dia sudah tak menyayangi ku lagi ?”. Ku tepis jauh setiap kali pikiran itu hinggap di kepala ku,  aku hanya mau bahagia bersama nya. Suami ku sebenar nya adalah orang yang sangat romantis, penuh rayuan manis yang memesonakan, setiap kali dia merayu, bulan pun tak mampu bekata-kata, hanya diam dan terbuai rayuan maut nya. Tak ku pungkiri aku tehanyut oleh nya. Mungkin barangkali peradaban Jawa kraton memengaruhi perilaku nya, sehingga ia mampu me ratukan ku sebagai layak nya seorang ratu Kanjeng. Namun kesedihan ku tak dapat ku tutupi, kali ia menyakiti ku, seperti kebanyakan orang menapsir kan TUDUNG kepala Jawa yang ku kenal BlANGKON orang menyebut nya,” Gondok di belakang”, tak mampu mengungkapkan kekesalan nya di depan, begitu pun falsafah keris nya, yang di letakan di belakang nya, sama ku tafsir kan, balas dendam di kemudian hari. Hmn memang sedikit agak primordial dan berbau kesukuan. Aku yang di lahirkan di tanah dekat para kaum Hokian bermukim, masjid pintu seribu yang terkenal itu serta aliran sungai Cisadane, bahkan kini pemerintah daerah ku mempunyai pajak yang sangat besar dari lalu lintas bandara Internasional, dari sanalah aku di lahirkan, aku menyebut diri ku orang Betawi. Ku rasakan ada ke tidak cocokan dari tata laku yang ku banggakan, namun itu bukan penghalang,  namun terkadang menjadi alibi bagi ku untuk menjadikan akar pangkal masalah, tepat nya sentimental gitu, namun hal itu dapat ku atasi dengan kecintaan pada suami ku saat itu, yang kini ia ku kukatai dengan nada sinis yang tak baik untuk di perdengarkan, hati kecil ku menolak untuk berbuat seperti itu.
KENAPA ADA DUKA YANG BELUM TEROBATI ?
Sejak dari malam aku enggan keluar kamar, suami ku yang hampir sudah tiga hari tidak pulang . Alasan nya tugas luar kota. Hanya sekali ku tengok anak-anak ku yang sedang tidur nyenyak, namun tampak juga rasa kegelisahan di wajah nya, igau-igau an yang tidak biasa ku dengar dari Arjuna dan srikandi ku.
 “Pertanda apa gerangan?”. Aku mencoba menepis kegelisahan ku dengan mengurung diri dalam kamar tidur ku. Ku main kan bola golf kecil , yang ku ambil sewaktu ku dulu bekerja. Ku ingat bola putih bundar berjerawat itu, tanda awal ku mengenal nya dan berpacaran hingga kini ia menjadi suami ku.
    “ Mas, andaikan tiap malam kau ada di sisi ku, dan mendampingi ku !?” penuh harap akan romantika seperti dulu ku berpacaran.
Tak ku tampikan sebenar nya, suami ku adalah pria romantis, namun arogansi lelaki nya selalu muncul menerpa, aku tak kuasa menahan arogansi ke lelaki-an nya, selalu saja ia katakan padaku dengan bahasa da’wah layak nya seorang ulama kondang.
“ Aku kan suami mu,  jadi apa yang ku katakan kau harus patuhi !.”
Kata-kata itu pun yang selalu ku ingat, saat ku dalam kesendirian, kenapa itu yang di jadikan senjata kaum pria, untuk menindas para istri-istri nya.
 “ Sebenar nya aku pun tidak akan membantah, jika saja ia bisa mengerti posisi ku sebagai seorang istri yang  juga mempunyai keluarga.
Hal yang paling membekas dan sempet ku ceritakan pada seorang sahabat ialah, ketika kami akan menyunati sang jagoan ku, suami ku meminjam mobil perusahaan nya, dengan menjemput seluruh kelurga ku untuk bermalam di rumah kami. Kejadian itu kecil namun sangat membekas, aku hanya seorang istri yang ingin membahagiakan ibu dan ayah ku. Nampak nya suami tak membaca ke inginan ku untuk saling berbagi kebahagian pada keluarga ku, nampak sekali sejak kedatangan nya. Ini yang ku khawatir kan!,
aku tak mampu mengkomunikasikan pada suami ku, sebalik nya suami ku juga tak cerdas menangkap signal dari ku. Ayah dan ibu, seperti tak di anggap nya sebagai orang tua nya, walau hanya mertua. Aku kesal sekali tak dianggap!, namun itu ku pendam dan ku tawar kan suasana dengan sesekali mengajak bercanda sang jagoan ku, sebagai media komuniksai, agar suasana kehangatan seolah terbangun di antara kami.
 “Yah, sebelum berangkat, sebaik nya kita sarapan dulu!”. Aku berharap ada respon baik dari suami ku.
“Nanti saja lah, kan sudah ku katakan!, aku harus berangkat pagi-pagi”.
“Tapi kan !”, menghardik tanpa wajah penuh dosa.
“Kan sudah aku katakan, kalau aku bilang berangkat sekarang, Ya! Sekarang! Ngerti ga sih!”, aku hanya terdiam, menahan rasa sedih, sarapan yang aku masak sejak subuh tadi, tak di sentuh sedikit pun, kesedihan ku bertambah.
 “Mungkin benar, jika wanita adalah prodak penjajahan kaum pria!”, aku hanya membatin, kemudian aku bergegas untuk membungkus makanan  yag sudah tersaji di meja makan, untuk mengantar kan ibu dan ayah ku pulang ke rumah.
“ Aku coba memahami nya secara bijak, mungkin saja mobil yang di pakai nya, untuk menjemput kedua orang tua ku, mungkin pagi sekali akan di pakai, jadi ia terburu-buru.
” Atau mungkin ia juga berfikir tentang diri ku dan keluarga ku “Kamu ini ko tidak mau mengerti sih!, aku ini capek mondar-mandir, ke sana sini!.” “Batin ku!.” (BERSAMBUNG)

Senin, 06 September 2010

PRAMOEDYA A T

http://id.wikipedia.org/wiki/Pramoedya_Ananta_Toer_dan_Sastra_Realisme_Sosialis