Tokoh sentral dalam novel Badrun sang pemberontak, yang menjalani hidup ditengah kekacauan, akan kah Badrun berhenti mencopet ataukah Ia tetap mencopet, berhenti berarti......??????!!!!!!
Sabtu, 31 Juli 2010
Jumat, 30 Juli 2010
BADRUN SANG PEMBERONTAK
SANG KEKASIH
Sudah sejak Agustus 2000, satu hari setelah hari kemerdekaan Bangsa ini, kukenal ia, sebagai wanita yang penuh perhatian padaku, hingga banyak lelaki lain yang cemburu padaku, Ahhh… Infotaiment pikirku… Anjing menggonggong kafilah berlalu, tak ada lagi waktu kusempatkkan untuk berbagi pada kawan-kawanku, memang wanita membuat goyah keimananku, hanya sesekali Kumenyapa kawan lamaku… tak ada lagi kumpul-kumpul yang biasa ku hadiri bersama kawan-kawanku untuk bicara bagaimana menanyakan kabar pada gembel-gembel,yang senasib denganku, hanya kabar dan salam dari kawan yang menyapaku…enteng saja ku anggapnya, luar biasa panah asmaranya menancap dalam dalam relung jiwaku, romantis benar Aku dikala itu… usiaku padahal masih teramat muda kala itu. Buah bibir sana-sini kudengar sumbang, dari kawanku…seperti biasa ku hanya diam tidak mau ambil pusing, Sialan pikirku’ pengadilan apa lagi ini !...belum saja seumur jagung aku jalan dengannya, ahhh...sudahlah. Aku jalan ke Monas, persis tepat kumenghadap Kedutaan Amerika sambil muntahkan serapah dan kebencianku pada gedung megah itu, hanya itu yang kumampu untuk mengumpat Amerika, entah apa tujuanku kala itu, yang jelas kunyatakan Amerika sebagai bajingan direpublik ini, walaupun yang kutahu hanya nyopet dan jambret.
“ Ma Kopi ”,
ngutang pa bayar ?...
ngutang Ma’
Abis………!!!
Sialan nih nenek-nenek tua, membatin dalam hati..
nanti sore gua bayar Ma’
bayar pake apa’an luh ? kerja aja kaga…
Kusundut rokokku, kutarik dalam, sambil menghembuskan asap rokok keudara…
“kenapa sih ma ngutang aja ga boleh” !...
Utang luh dah banyak…
Drun…eluh beli rokok bisa, giliran kopi utang…luh sial dangkalan juga luh…
Begitu, setiap kali kumuak dengan aparat, pejabat, orang-orang bahkan pacarku, kuselalu, berangkat keMonas duduk menghadap kekedutaan Amerika, kumuntahkan kebencian, sumpah serapah dan semua kedzoliman kehadapan kedutaan besar Amerika yang aku muak kepadanya, disanalah kutumpahkan kebencianku, sehingga mempertebal keimananku akan Kemunafikan Amerika sebagai negara Adidaya yang menindas, menghisap, begitupun terhadap Australia, kumuntahkan juga semua sumpah serapah tentang bangsaku kepadanya, kebencianku, tentang pejabat-pejabat Korup, dan politisi busuk semua kubangun dengan mengarahkannya semangat perlawan dan kumuntahkan, kebencian dan kemuakanku kesemua negara-negara Kapitalis yang licik, Negara-negara yang suka ikut campur tangan ekonomi bangsaku, bajingan kampret, memang, Cara yang kuanggap, menghindari kebencianku terhadap bangsa dan saudara-saudaraku sendiri dari kemuakan terhadap saudar-saudaraku yang korup. Jeblosakan dan tangkap, titik, tak ada kompromi. Kiblat sumpah serapah, Kedutaan Amerika.
Sudah sejak Agustus 2000, satu hari setelah hari kemerdekaan Bangsa ini, kukenal ia, sebagai wanita yang penuh perhatian padaku, hingga banyak lelaki lain yang cemburu padaku, Ahhh… Infotaiment pikirku… Anjing menggonggong kafilah berlalu, tak ada lagi waktu kusempatkkan untuk berbagi pada kawan-kawanku, memang wanita membuat goyah keimananku, hanya sesekali Kumenyapa kawan lamaku… tak ada lagi kumpul-kumpul yang biasa ku hadiri bersama kawan-kawanku untuk bicara bagaimana menanyakan kabar pada gembel-gembel,yang senasib denganku, hanya kabar dan salam dari kawan yang menyapaku…enteng saja ku anggapnya, luar biasa panah asmaranya menancap dalam dalam relung jiwaku, romantis benar Aku dikala itu… usiaku padahal masih teramat muda kala itu. Buah bibir sana-sini kudengar sumbang, dari kawanku…seperti biasa ku hanya diam tidak mau ambil pusing, Sialan pikirku’ pengadilan apa lagi ini !...belum saja seumur jagung aku jalan dengannya, ahhh...sudahlah. Aku jalan ke Monas, persis tepat kumenghadap Kedutaan Amerika sambil muntahkan serapah dan kebencianku pada gedung megah itu, hanya itu yang kumampu untuk mengumpat Amerika, entah apa tujuanku kala itu, yang jelas kunyatakan Amerika sebagai bajingan direpublik ini, walaupun yang kutahu hanya nyopet dan jambret.
“ Ma Kopi ”,
ngutang pa bayar ?...
ngutang Ma’
Abis………!!!
Sialan nih nenek-nenek tua, membatin dalam hati..
nanti sore gua bayar Ma’
bayar pake apa’an luh ? kerja aja kaga…
Kusundut rokokku, kutarik dalam, sambil menghembuskan asap rokok keudara…
“kenapa sih ma ngutang aja ga boleh” !...
Utang luh dah banyak…
Drun…eluh beli rokok bisa, giliran kopi utang…luh sial dangkalan juga luh…
Begitu, setiap kali kumuak dengan aparat, pejabat, orang-orang bahkan pacarku, kuselalu, berangkat keMonas duduk menghadap kekedutaan Amerika, kumuntahkan kebencian, sumpah serapah dan semua kedzoliman kehadapan kedutaan besar Amerika yang aku muak kepadanya, disanalah kutumpahkan kebencianku, sehingga mempertebal keimananku akan Kemunafikan Amerika sebagai negara Adidaya yang menindas, menghisap, begitupun terhadap Australia, kumuntahkan juga semua sumpah serapah tentang bangsaku kepadanya, kebencianku, tentang pejabat-pejabat Korup, dan politisi busuk semua kubangun dengan mengarahkannya semangat perlawan dan kumuntahkan, kebencian dan kemuakanku kesemua negara-negara Kapitalis yang licik, Negara-negara yang suka ikut campur tangan ekonomi bangsaku, bajingan kampret, memang, Cara yang kuanggap, menghindari kebencianku terhadap bangsa dan saudara-saudaraku sendiri dari kemuakan terhadap saudar-saudaraku yang korup. Jeblosakan dan tangkap, titik, tak ada kompromi. Kiblat sumpah serapah, Kedutaan Amerika.
Kamis, 29 Juli 2010
BADRUN
MORNING¬¬¬¬¬¬
SELAMAT PAGI….
Pukul 24.00 Menjelang dini hari, disini orang-orang masih menyibukan diri, sibuk penuh kerumunan pada saat tetangga kampung-kampung disekitar terlelap tertidur pulas, pengap, sumpek, berisik dan penuh sumpah serapah orang-orangnya. Anak-anak dibangunkan oleh keterpaksaan yang merenggut malamnya untuk istirahat. Anak-anak disini membawa penyakit jiwa yang diturunkan oleh orang-orang tua mereka yang menjadi warisan berkala yang diterimanya tanpa Hibah melalui kantor–kantor hukum resmi. Pagi saat kebanyakan orang-orang asik siap untuk beraktifitas dan bekerja, mereka asik terlelap tidup, dan tak ingin diganggu, hari-hari yang melelahkan. Sambil keluar rumah dengan muka masam, tak lupa membawa kemarahan, prilaku jiwa yang aneh dan tak lazim bagi anak seusia Badrun, Umur baru 14 tahun, persoalaan 45 Tahun. Membawa beban rumah tangga , menanggung Ibunya yang mulai sakit-sakitan dan 5 orang adiknya yang masih kecil-kecil dan ditambah Ayahnya yang sangat dibencinya.
Seorang yang pembawaan agak pendiam namun keras kepala, raut wajahnya kasar, tarikan wajahnya menyiratkan semangat ketidakpuasan dan pembangkangan yang keras, jelas dari sorot matanya yang tajam Ia Nampak menolak kehidupan selama ini, Seumur hidupnya, mungkin ketika Ia masih dikandungan, yang diceritakan Ibunya, kalo tangisannya membuat gerah pejabat Pemerintah yang kebetulan pada waktu ini tinggal dan bertetangga dengan almarhum kakeknya, kelahiranya yang hanya ditemani sebatang lilin yang hampir Habis nyala apinya, serta bilik bambu dan Bale yang kini menjadi tempat tidurnya, akte kelahirannya pun dicatat pada kayu dingding pojokan rumahnya, dengan sebatang paku karat, yang telah lama disimpannya, berbekal keterampilan menulis sang Ibunda, berbidankan semangat kuat Ibunya sendiri tanpa ruang layaknya seorang pada zamannya lahir, ditemani temaram lampu lilin, dan semangat untuk merendahkan harga diri pejabat serta dokter, dengan tidak meminjam uang kepada pejabat yang kebetulan tetangga nya sendiri, yang kemudian harinya, ia harus menanggung beban hutangnya berkali kali lipat, berikut bayi yang akan dilahirkan juga menaggung beban akibatnya, ya” beban hutang, Bayi menanggung beban hutang. Berbeda dengan lahirnya seorang pembrontak yang merdeka, terlahir tanpa beban hutang, lahir atas karunia Allah SWT dan semangat untuk menjadi orang yang merdeka. Bayi yang terlahir ditengah huru-hara politik ketika Amir Biki ditembaki oleh Tentara, peristiwa pembangkangan terhadap rezim Soeharto, zaman berubah dari rezim penguasa satu kepenguasa lainnya, penguasa dzolim dan lalim, penguasa yang bertamengkan Demokrasi, yang tak pernah kumengerti binatang apa itu, yang kumengerti hanyalah buas, menginjak, membunuh perlahan tapi pasti dan hingga hari ini demokrasiku, demokrasi menahan lapar, mencari makan lewat cara yang tak halal, mencopet dan menjambret orang-orang berduit. Bahkan harampun kini kukatakn halal, apabila perutku lapar, Ibuku sakit, atupun adik-adikku tak makan, juga kawan-senasibku. Kebencian yang dibidani oleh kesusahan hidup, muak dengan prilaku yang kasar, dan merugikan orang, pahitnya kenyataan membunuh ketegaanku untuk melakukan prilaku haram, atau mati ditelan kerasnya hidup, dizaman Cicak dan Buaya bertengkar, dimasa Bank Century Membobol Uang Negara, Dizaman serba muak negara tetangga reseh, mengklaim Batik, Reog Ponorogo, Tari Pendet, Zaman tak Berwibawa, zamanya ketiak Asing jadi parfum..............bersam
bung
SELAMAT PAGI….
Pukul 24.00 Menjelang dini hari, disini orang-orang masih menyibukan diri, sibuk penuh kerumunan pada saat tetangga kampung-kampung disekitar terlelap tertidur pulas, pengap, sumpek, berisik dan penuh sumpah serapah orang-orangnya. Anak-anak dibangunkan oleh keterpaksaan yang merenggut malamnya untuk istirahat. Anak-anak disini membawa penyakit jiwa yang diturunkan oleh orang-orang tua mereka yang menjadi warisan berkala yang diterimanya tanpa Hibah melalui kantor–kantor hukum resmi. Pagi saat kebanyakan orang-orang asik siap untuk beraktifitas dan bekerja, mereka asik terlelap tidup, dan tak ingin diganggu, hari-hari yang melelahkan. Sambil keluar rumah dengan muka masam, tak lupa membawa kemarahan, prilaku jiwa yang aneh dan tak lazim bagi anak seusia Badrun, Umur baru 14 tahun, persoalaan 45 Tahun. Membawa beban rumah tangga , menanggung Ibunya yang mulai sakit-sakitan dan 5 orang adiknya yang masih kecil-kecil dan ditambah Ayahnya yang sangat dibencinya.
Seorang yang pembawaan agak pendiam namun keras kepala, raut wajahnya kasar, tarikan wajahnya menyiratkan semangat ketidakpuasan dan pembangkangan yang keras, jelas dari sorot matanya yang tajam Ia Nampak menolak kehidupan selama ini, Seumur hidupnya, mungkin ketika Ia masih dikandungan, yang diceritakan Ibunya, kalo tangisannya membuat gerah pejabat Pemerintah yang kebetulan pada waktu ini tinggal dan bertetangga dengan almarhum kakeknya, kelahiranya yang hanya ditemani sebatang lilin yang hampir Habis nyala apinya, serta bilik bambu dan Bale yang kini menjadi tempat tidurnya, akte kelahirannya pun dicatat pada kayu dingding pojokan rumahnya, dengan sebatang paku karat, yang telah lama disimpannya, berbekal keterampilan menulis sang Ibunda, berbidankan semangat kuat Ibunya sendiri tanpa ruang layaknya seorang pada zamannya lahir, ditemani temaram lampu lilin, dan semangat untuk merendahkan harga diri pejabat serta dokter, dengan tidak meminjam uang kepada pejabat yang kebetulan tetangga nya sendiri, yang kemudian harinya, ia harus menanggung beban hutangnya berkali kali lipat, berikut bayi yang akan dilahirkan juga menaggung beban akibatnya, ya” beban hutang, Bayi menanggung beban hutang. Berbeda dengan lahirnya seorang pembrontak yang merdeka, terlahir tanpa beban hutang, lahir atas karunia Allah SWT dan semangat untuk menjadi orang yang merdeka. Bayi yang terlahir ditengah huru-hara politik ketika Amir Biki ditembaki oleh Tentara, peristiwa pembangkangan terhadap rezim Soeharto, zaman berubah dari rezim penguasa satu kepenguasa lainnya, penguasa dzolim dan lalim, penguasa yang bertamengkan Demokrasi, yang tak pernah kumengerti binatang apa itu, yang kumengerti hanyalah buas, menginjak, membunuh perlahan tapi pasti dan hingga hari ini demokrasiku, demokrasi menahan lapar, mencari makan lewat cara yang tak halal, mencopet dan menjambret orang-orang berduit. Bahkan harampun kini kukatakn halal, apabila perutku lapar, Ibuku sakit, atupun adik-adikku tak makan, juga kawan-senasibku. Kebencian yang dibidani oleh kesusahan hidup, muak dengan prilaku yang kasar, dan merugikan orang, pahitnya kenyataan membunuh ketegaanku untuk melakukan prilaku haram, atau mati ditelan kerasnya hidup, dizaman Cicak dan Buaya bertengkar, dimasa Bank Century Membobol Uang Negara, Dizaman serba muak negara tetangga reseh, mengklaim Batik, Reog Ponorogo, Tari Pendet, Zaman tak Berwibawa, zamanya ketiak Asing jadi parfum..............bersam
BADRUN
KONFLIK NILAI
Priiittt, priwitan Polisi memulai pagi, asap knalpot mengeluarkan asap hitam pekat penuh polusi, udara pagi menjadi kotor dan bau ditambah sumpah serapah orang-orang yang sakit jiwa lantaran digilas zaman dan dihisap darahnya oleh kedzoliman penguasa. Pagi yang semrawut, matahari bergerak semakin tinggi, semakin cepat pula jam berdetak meninggalkan keterlambatan bagi kaum–kaum yang enggan dan menolak kehidupan yang seperti ini, menolak tunduk terhadap kekuasaan asap knalpot yang mengotori udara pagi, menolak dan melawan serta menantang zaman berdarah yang menghisap darah-darah saudaranya dihisap dan dibinatangkan ,tragedy ironi bagi kaum pembangkang, dunia Kapitalis, mereka Kaum pembrontak revolusioner menyebut kaum licik dan sesat kapitalis yang mengatur hidup jutaan bahkan milyaran manusia didunia.
Tragedi dipagi hari ini berulang hingga umurku menginjak 25 tahun. DERUMAN SUARA MOBIL, hembusan knalpot, sumpah serapah pejalan kaki yang dihidangkan asap polusi, kebisingan kota membangunkan Badrun, mataharipun ikut membelah matanya yang tertidur pulas ditaman Kota, “Bangun Gembel, tidak ada yang gratis dikota maling seperti ini”, bangun cepat…dan gembel Tua itupun berlalu tanpa menyiratkan kegelisahan dan semangat bertahan hidup yang tidak layak, tatapan matanya liar, tajam menusuk setiap orang yang memandangnya, bajunya kumal, perawakannya kurus, namun tampak terlihat kuat, rambut gondrong tak terurus dan ditumbuhi uban, tanda umurnya telah senja, Badrun masih mengerang, terasa malas dan lambat…dari kejauhan terdengar “ Cepat bangun gembel” !!!...cepatlah para maling sudah bergerak dari pagi tadi…nanti kau tak kebagian tempat…dasar bocah gembel”, pahit hidup mu Nak…!!!!, Badrun menjawab dengan suara lantang, “ Hei…kakek tua brengsek, jangan berisik, disini, selalu ada tempat bagi para Maling,” Badrun merasa terganggu, dengan kebawelan kakek tua itu, dia bangun dan duduk, memandang sekelilingnya, Badrun tersentak kaget, melihat orang yang berlari cepat, sedang diburu petugas. Heee…Menarik nafas panjang, gue pikir apa kali tadi, maling ngejar maling, sapaan pagi khas kota Jakarta.
Pak polisi sedang mengatur lalu lintas jalan, asap knalpot bus, aktifitas masyarakat kota Jakarta, gedung-gedung tinggi nan megah, mobil mewah dan bus Trans Jakarta melintas dengan segala kebisingannya, Badrun berjalan sambil menuntun nenek yang hendak menyebrang dikepadatan kota, matanya tajam mengawasi setiap langkah orang. Badrun menyelinap diantara keramainan orang, didalam Bis, DiTrotoar, diHalte bis, Di Terminal tangannya lihai menempel dari satu celana ke tas dan celana kembali. Siang bergerak, menghampiri malam, Jakarta kembali bersolek, gemerlap lampu menawarkan eksotisme pada siapa saja, aktifitasnya pun tak kalah sibuk dengan siang tadi, suara bising kafe-kafe, discotique, Jakarta Malam hari membungkam nyanyian binatang malam hari, yang habitanya pun digusur, Binatang Malam berkeliaran, langkah para pejala kaki, hentakan keras irama kota membuat tarian Metropolis dengan sang Maestro Kreografer kemegahan Jakarta. Sudah seminggu ini kakek yang bawel tak bersamaku dikala ku tidur tidak kelihatan, beberapa kali sudah kutanyakan kawan-kawanku, tak satupun dari mereka yang melihatnya, Aku kesepian, tak ada kakek bawel itu lagi disampingku, yang membangunkanku kala matahari mulai mengtintip kondominiumku, Ya’…Kondominium Sebuah bangku Taman yang beratapkan langit, dan bertaburan Bintang…dan bocor dikala Hujan, Kenapa Aku memikirkan sikakek bawel itu ?... yang setiap pagi mengumpatku dengan ocehan baunya “ bangun Gembel, tak ada yang gratis dikota maling ini “, walaupun demikian Aku tak pernah marah kepadanya, Ya’ sosok Kakek Tua dan Gembel, untuk beberapa hari tak ada bersamaku, entah pergi kemana Ia….dimakan anjing hitam dipos Jaga, atau dimakan Cacing-cacing tanah yang rakus…heehh, tak ada kuburan bagimu gembel tua, jika kau mati sekarang heehh….tunggu Aku dulu, sampai Aku Kaya,..akan kutaburi pemakaman kau dengan emas dan berlian, kubuat para maling-maling itu menjadi pesuruhmu,…heii…Pak Tua….Gembelll tuaaa Brengsek…...
Langganan:
Postingan (Atom)