Rabu, 08 September 2010

NYANYIAN RINDU SERUNI

NYANYIAN RINDU SERUNI
Hasyim Ahmadi  
Sesekali ku tebar senyum pada tamu ku, ya begitu lah pekerjaan ku, aku berada di front office, sebuah gedung olahraga mewah, kebanyakan yang berkantong tebal juga para pebisnis. Olahraga yang tak pernah ku bayangkan untuk bisa memainkan nya, apalagi berada di lapangan itu. “Ya“, hanya saja secara kebetulan aku berada dan bekerja di tempat mewah, tempat orang yang berkantong tebal menghabiskan waktu dan berbisnis, atau juga sekedar olahraga. Bola kecil putih dan lapangan luas, hanya samar ku dengar berita di Koran, kalau lapangan golf itu di bangun di atas penderitaan orang-orang susah dan miskin,  lapangan olahraga yang berpondasi tulang belulang orang melarat, “Apa benar seperti itu ?” Kini aku berdiri tepat di sini, atau barangkali jika benar, pada malam hari suasana nya  seram seperti film-film horor indonesia, “ film horor Indonesia, yang menggelikan bukan menakut kan.“ Ya tapi tetap ku tonton…film Indonesia, walau tak se horor Indonesia ku dan kisah ku ini. Gedung dan lapangan mewah nan megah, di hantui kaum melarat, yang mungkin lapangan golf itu bisa di tempati ribuan warga miskin, “ sungguh luar biasa !”. Orang –orang kaya di negara ku ini, bisa membeli kesenangan kaum melarat. Hanya untuk memukul kan tongkat sakti nya ke lubang.
Kala itu memang sangat lah muda usia ku. Ya terasa sekali usia muda, satu tahun aku menjalani pacaran dengan nya. Usia 21 tahun kami menikah dengan lelaki pilihan ku “ Bibin, setiap kali memanggil nya”, keluarga ku memang tidak setuju dengan nya, namun aku coba menyakin kan kisah cinta ku dengan nya pada kelurga ku. Atas alasan cinta aku menjadi kuat hidup bersama nya.  Hari demi hari ku lewati,  ku pendam roman ketidak puasan ku dan penderitaan ku.  Terasa dan mulai pahit getir nya hidup ku rasakan. Aku di boyong ke keluarga nya dan hidup se atap dengan kelurga lelaki pilihan ku, segenap rasa senang dan pahit hanya ku rasakan dan ku jadikan pelajaran hidup. Aku, Ibu dan ayah mertua serta 1 orang adik nya, walau terasa berat ku hadapi aku pun berangkat ke kediaman baru ku. Atap keluarga baru ku dengan wajah dan karakter yang baru pula, suami ku anak ke 3 dari 4 bersaudara, laki-laki satu-satu nya di keluraga, ia bekerja sebagai seorang marketing handal di salah satu perusahaan Malaysia yang bergerak di bidang prodak prodak kesehatan. Kembali ku bercerita pada seseorang melalui benda kecil yang di sebut handphone,  siang itu tepat jam 13.12 menit, 6 september, empat hari menjelang lebaran. Wuih sungguh luar biasa,  bulan penuh berkah, rahmat dan ampunan itu. Tapi tiap kali ku ingat dia, hanya sesal dan penderintaan yang ku ingat, memang tadi tak sedikit pun ku ceritakan hal-hal yang menyenangkan ketika ku bersama nya, hanya cacian dan makian yang ku sebut. Sesekali ku tinggal kan lawan bicara ku, karna posisi ku saat bercerita sedang memainkan papan keyboard, gaul dan trend anak muda sekarang, fesbuk Ya!, ku sambi lawan bicara ku dengan chating, aku pun mencoba jujur dan bersikap apa ada nya dengan cerita ku, mungkin kawan yang mendengarkan cerita ku juga menilai ku tentang apa yang telah ku ceritakan. Sungguh berat ku ceritakn pengalaman hidup ku, tapi biarlah, semoga saja menjadi hikmah tersendiri bagi yang lain nya.    
KU RINDU KE DUA ANAK KU
Tiga puluh tujuh tahun kini berlalu, dua orang anak kecil yang sedang berlari mengingat kan ku akan orang yang ku kasihi, sambil ku rapih kan tempat tidur ku, sinar matahari membelah, semakin meruang sinar nya memaksa masuk kamar tidur ku, kembali ku mengintip lewat jendela, dua  orang anak kecil yang belari menuju sekolah nya. menari-nari dan kadang meloncat-loncat itu. Ia menggodaku?” Aku teringat cerita yang hampir terlupakan tentang orang yang kini ku tinggal kan.  Menggoda seorang perempuan, “ya” di tempat bola putih kecil itu menggelinding. Tempat nya harapan-harapan orang melarat terkubur. Di sana pula lah cinta ku bersama nya tumbuh, cinta ku tumbuh di padang golf yang berpondasikan keringat dan tulang belulang kaum dhuafa, tulang-tulang manusia terjajah.
“Jangan sekali-kali engkau memainkan perasaan hatimu!”
dan mengatakan !“
cinta ku untuk mu seorang.
 “ Aku hanya mengingat kan kalian!”,
jangan pernah merasakan apa yang sudah ku rasakan “.
“Mengapa diam saja?
Tak boleh aku berkata tentang sesuatu?”
 Terus saja ku rapih kan bibir ku dengan sebatang gincu merah tipis, barangkali cermin buluk iu mentertawai ku, setiap kali ku membatin dengan nya. Setiap kali ku sesali peristiwa yang menyesak kan hati seolah cermin berubah seperti comberan di belakang rumah yang bau. Aku menangkap sinisme dari cermin buluk ku, dari pernyataan itu. Cermin buluk ku pun tak setuju untuk mengenang nya dia hanya berharap aku akan maju menatap masa kini untuk berjalan ke depan. Ya. Barangkali untuk kamu. Karena kamu anak yang tak pernah bergulat dengan comberan di belakang rumah ku dan setiap kali air nya mampet, maka aku lah yang menjadi korban, untuk membersih kan nya,” jelas cermin““Ya kamu tahu itu. Tapi jangan begitu. Bukankah aku mencintaimu? Dan kamu?” Bibin tak ragu mencintai Seruni, gadis yang akrab sekali dengan comberan bau di belakang rumah nya, “apakah kamu lelaki, keturunan hewan yang berbuntut itu? Tanya cermin, pada seruni !” Seruni mengambil, boneka barbie dan mobil-mobil-an yang hampir rusak. Benda yang selalu mengingat kan akan kerinduan ku pada-anak-anak ku. Aku ingat sekali, aku belikan ia mainan, Untuk putri ku yang tercantik ku, dan sang jagoan ku hadiai mobil-mobilan, ku berharap kelak ia akan menjaga mama nya di kala tua nanti, begitu pun boneka yang ku berikan pada puteri ku, kasih dan sayang nya untuk mu berdua, kenapa ku berkata berdua!, tanpa ayahnya anak-anak?... Aku memiliki alasan sendiri, barangkali di usia yang sudah menjelang akil baligh, kedua anak ku pun merasakan hal yang ganjil. Kenapa ayah ibu tidak tinggal seatap dengan kami. Sudah hampir dua tahun aku meninggal kan keluarga ku, aku tak mau di bohongi oleh keterpaksaan yang tidak membuat ku dewasa. Aku sudah muak di bohongi, dan aku merasakan hal yang tidak mengenakan, perasaan hati yang mengganjal . Gaji yang ku dapat dari bekerja ku membantu suami, tak lupa aku membelikan Arjuna dan Srikandi ku, hilang semua rasa capek dan sakit ku ketika ku dapat membahagiakan anak-anak ku. Sebatas bayangan semu, saat ini yang dapat ku ingat, dan cermin buluk ku, seperti mencibir kembali.
 “Kenapa kau masih seperti itu ?”
“ Aku tak bisa lari dari bayangan ke rinduan ku !“
“Itu sudah resiko, terima dan jalani apa yang sudah menjadi keputusan mu!”.
Tanpa kusadari, air mata ku menetes, membasahi boneka anak ku, “. Cengeng benar aku ini!, “ Aku ini wanita kuat yang tak boleh menangis, aku ini kuat!...aku ini kuat, menguatkan hati ku yang mulai lemah, karena deraian air mata,
“kenapa aku ini ?”
“ka ! terdengar pelan suara dari luar kamar Seruni memanggil.
“Ayo!  Cepat!,  mau bareng enggak!”
“Ya, tunggu!” sambil bergegas merapih kan tas, dengan dandanan yang masih kurang sempurna,. Seruni lari keluar kamar sambil melambaikan tangan pada cermin buluk nya.
“ka !, ngapain aja sih, ko lama banget di kamar ?”
“nama nya juga perempuan, kalo bukan dandan emang nya ngapain ?”
“ iya perempuan sih perempuan, aku juga perempuan tapi ga lama-lama amat !”. “kakak nangis ya ?”
“ Ah ! udah ah, bawel amat sih ! “
Angkot meluncur mengantar kan kegelisan Seruni yang terbawa, hingga ia turun. Jelas tergambar dari raut wajah menekuk bibir nya, tak mengeluarkan aura senyuman, dan ketulusan ekpresi yang damai. ekpresi yang menahan beban hati, kesedihan yang memancarkan aura emosional yang tak tertata.
 AKU di ANTARA IBU MERTUA dan SUAMI KU
 “Yah, mau kemana ?”...dengan wajah pucat dan penuh harap bakal di sapa, “ Mau ke rumah Ibu !” aku melarang nya untuk pergi, aku juga wanita sama seperti ibu mu. Badan ku yang sejak kemarin kurang enak badan dan lemas, berharap ada sapa’an kasih sayang darinya, dan itu sangat ku harap kan sekali menemani ku di kala sakit, semoga saja bisa menjadi obat dan penghibur ku di kala ku sedang sakit. Tapi pilihan nya berbeda, ia berkunjung ke rumah ibu nya, sehari setelah ia pulang dari rumah ibu, aku pun coba menguatkan diri dan menjadi sehat, lantaran keadaan lah yang mendokteri ku untuk sehat.
“ yah…! Kemana aja sih kamu ?”. dengan wajah yang dingin dan tanpa merasa berdosa “ Aku kan menengok ibu ku !,
“ sebenar nya apa sih mau mu ?...”, dengan nada tinggi sedikit menghardik ku !,
 sebenar nya ia tahu kala itu aku sedang sakit, namun sikap acuh nya membuat adrenalin kemarahan ku memuncak dan mendorong ku untuk mengindah kan rasa  sakit ku, dalam hati “ bangsat sialan juga lelaki ini, ga tau apa kalau gue ini lagi sakit, “ ku hanya berharap mendapat belaian dan kasih sayangnya, itu akan mengobati rasa sakit ku. Aku tak mengira bakal terjadi berantem hebat,  antara aku dan suami ku.” Pikir ku “ Apakah dia sudah tak menyayangi ku lagi ?”. Ku tepis jauh setiap kali pikiran itu hinggap di kepala ku,  aku hanya mau bahagia bersama nya. Suami ku sebenar nya adalah orang yang sangat romantis, penuh rayuan manis yang memesonakan, setiap kali dia merayu, bulan pun tak mampu bekata-kata, hanya diam dan terbuai rayuan maut nya. Tak ku pungkiri aku tehanyut oleh nya. Mungkin barangkali peradaban Jawa kraton memengaruhi perilaku nya, sehingga ia mampu me ratukan ku sebagai layak nya seorang ratu Kanjeng. Namun kesedihan ku tak dapat ku tutupi, kali ia menyakiti ku, seperti kebanyakan orang menapsir kan TUDUNG kepala Jawa yang ku kenal BlANGKON orang menyebut nya,” Gondok di belakang”, tak mampu mengungkapkan kekesalan nya di depan, begitu pun falsafah keris nya, yang di letakan di belakang nya, sama ku tafsir kan, balas dendam di kemudian hari. Hmn memang sedikit agak primordial dan berbau kesukuan. Aku yang di lahirkan di tanah dekat para kaum Hokian bermukim, masjid pintu seribu yang terkenal itu serta aliran sungai Cisadane, bahkan kini pemerintah daerah ku mempunyai pajak yang sangat besar dari lalu lintas bandara Internasional, dari sanalah aku di lahirkan, aku menyebut diri ku orang Betawi. Ku rasakan ada ke tidak cocokan dari tata laku yang ku banggakan, namun itu bukan penghalang,  namun terkadang menjadi alibi bagi ku untuk menjadikan akar pangkal masalah, tepat nya sentimental gitu, namun hal itu dapat ku atasi dengan kecintaan pada suami ku saat itu, yang kini ia ku kukatai dengan nada sinis yang tak baik untuk di perdengarkan, hati kecil ku menolak untuk berbuat seperti itu.
KENAPA ADA DUKA YANG BELUM TEROBATI ?
Sejak dari malam aku enggan keluar kamar, suami ku yang hampir sudah tiga hari tidak pulang . Alasan nya tugas luar kota. Hanya sekali ku tengok anak-anak ku yang sedang tidur nyenyak, namun tampak juga rasa kegelisahan di wajah nya, igau-igau an yang tidak biasa ku dengar dari Arjuna dan srikandi ku.
 “Pertanda apa gerangan?”. Aku mencoba menepis kegelisahan ku dengan mengurung diri dalam kamar tidur ku. Ku main kan bola golf kecil , yang ku ambil sewaktu ku dulu bekerja. Ku ingat bola putih bundar berjerawat itu, tanda awal ku mengenal nya dan berpacaran hingga kini ia menjadi suami ku.
    “ Mas, andaikan tiap malam kau ada di sisi ku, dan mendampingi ku !?” penuh harap akan romantika seperti dulu ku berpacaran.
Tak ku tampikan sebenar nya, suami ku adalah pria romantis, namun arogansi lelaki nya selalu muncul menerpa, aku tak kuasa menahan arogansi ke lelaki-an nya, selalu saja ia katakan padaku dengan bahasa da’wah layak nya seorang ulama kondang.
“ Aku kan suami mu,  jadi apa yang ku katakan kau harus patuhi !.”
Kata-kata itu pun yang selalu ku ingat, saat ku dalam kesendirian, kenapa itu yang di jadikan senjata kaum pria, untuk menindas para istri-istri nya.
 “ Sebenar nya aku pun tidak akan membantah, jika saja ia bisa mengerti posisi ku sebagai seorang istri yang  juga mempunyai keluarga.
Hal yang paling membekas dan sempet ku ceritakan pada seorang sahabat ialah, ketika kami akan menyunati sang jagoan ku, suami ku meminjam mobil perusahaan nya, dengan menjemput seluruh kelurga ku untuk bermalam di rumah kami. Kejadian itu kecil namun sangat membekas, aku hanya seorang istri yang ingin membahagiakan ibu dan ayah ku. Nampak nya suami tak membaca ke inginan ku untuk saling berbagi kebahagian pada keluarga ku, nampak sekali sejak kedatangan nya. Ini yang ku khawatir kan!,
aku tak mampu mengkomunikasikan pada suami ku, sebalik nya suami ku juga tak cerdas menangkap signal dari ku. Ayah dan ibu, seperti tak di anggap nya sebagai orang tua nya, walau hanya mertua. Aku kesal sekali tak dianggap!, namun itu ku pendam dan ku tawar kan suasana dengan sesekali mengajak bercanda sang jagoan ku, sebagai media komuniksai, agar suasana kehangatan seolah terbangun di antara kami.
 “Yah, sebelum berangkat, sebaik nya kita sarapan dulu!”. Aku berharap ada respon baik dari suami ku.
“Nanti saja lah, kan sudah ku katakan!, aku harus berangkat pagi-pagi”.
“Tapi kan !”, menghardik tanpa wajah penuh dosa.
“Kan sudah aku katakan, kalau aku bilang berangkat sekarang, Ya! Sekarang! Ngerti ga sih!”, aku hanya terdiam, menahan rasa sedih, sarapan yang aku masak sejak subuh tadi, tak di sentuh sedikit pun, kesedihan ku bertambah.
 “Mungkin benar, jika wanita adalah prodak penjajahan kaum pria!”, aku hanya membatin, kemudian aku bergegas untuk membungkus makanan  yag sudah tersaji di meja makan, untuk mengantar kan ibu dan ayah ku pulang ke rumah.
“ Aku coba memahami nya secara bijak, mungkin saja mobil yang di pakai nya, untuk menjemput kedua orang tua ku, mungkin pagi sekali akan di pakai, jadi ia terburu-buru.
” Atau mungkin ia juga berfikir tentang diri ku dan keluarga ku “Kamu ini ko tidak mau mengerti sih!, aku ini capek mondar-mandir, ke sana sini!.” “Batin ku!.” (BERSAMBUNG)

Senin, 06 September 2010

PRAMOEDYA A T

http://id.wikipedia.org/wiki/Pramoedya_Ananta_Toer_dan_Sastra_Realisme_Sosialis

Selasa, 24 Agustus 2010

Bengkelwarna

King Safir

Pendekar

Tiga Jawara TROKTOK

CATATAN SEORANG KAWAN

CATATAN SEORANG KAWAN
Ehhh goblok, jangan di situ “ perlahan ku menggerakan kaki. Ke arah yang lebih aman”, kampret juga nih orang memebentak ku dengan sebutan goblok, fikir ku siapa orang ini. “ Iya bang ”, ke tabrak kereta mampus luh. Tak lama berselang kereta pun tiba, dengan membawa ribuan penumpang Jakarta Bogor, kendaraan yang manusiawi, ledekan seorang kawan kepadaku ketika itu. Kereta Jabodetabek, kendaraan masal yang penuh sesak, di sana banyak ku temui keraguan dan kepastian tentang segala hal, hilir mudik nya para pedagang dan penumpang menjadi saru, kucing-kucingan para penumpang yang tak memiliki karcis pun sering ku lihat di kereta ini. Pengamen, copet, banyak sekali rupa para manusia yang mencari makan. Memang nasib atau barangkali republik ini tak mampu lagi menyediakan kendaraan masal yang nyaman, sekalipun ada harus merogoh kantong tebal. “ Fuih, sambil menyeka keringat ku, tetap ku nikmati perjalan Ke Bogor, penuh, sesak, bau bercampur aroma ketek para penumpang yang memuakan hidung ku, selalu ku tutupi dengan baju. Barangkali sama hal nya orang-orang pun juga mencibir ku, “ ini orang keteknya bau juga, tapi ku yakini saja pada diriku bahwa aku tak lupa memakai deodorant saat ku berangkat tadi ”. Baju merah kesukaan ku yang selalu ku kenakan saat berpergian jauh menjadi ciri identitas ku, karna dengan baju itu, ku selalu pede.
Kereta berhenti di stasiun depok Universita Indonesia, sebagain mahasiswa dan copet juga mulai turun dari kereta. Mataku melirik kearah samping kiri deket pintu kereta yang terbuka, pintu kereta yang selalu terbuka, karna di ganjel batu, sehingga terbuka lebar, seorang nenek tua yang sedang meminta-minta dan seorang gadis cantik tepat berada di dekat nya. Pemandangan yang kontras nenek gembel, tua, jelek dan peminta-minta serta wanita cantik muda dan penuh pesona, tampak dari gaya berpakaian nya seperti mahasiwa. Wuiih mantap benar ini cewek, sesekali ku lirik nenek tua peminta tadi jadi Blur mata ku pemandangan yang kurang mengasik kan, namun hati ku terenyuh, nenek tua, nampak terlihat dari wajahnya sudah menginjak 60 tahun ke atas, garis wajah nya keriput menandakan kerentaan nya, kembali ku lirik gadis cantik di dekat nya, fokus sekali ku memandang nya. Selalu ku gairah kan mata ku dengan melirik wanita cantik di sebelah nenek gembel tua renta peyot ini. “ Kampret juga nih cewe “ bathin ku.
“ Nek, mao ke mana “ ?
“ Nyari duit...” Jawab nya ketus, sialan juga juga nih nenek peyot, di tanya-baik-baik malah ngomel.
Emang nya engga punya anak nek ? “
Bawel bener luh, jangan banyak tanya...!!! “ luh kasih Seribu, baru gua jawab “, gadis yang di tadi ku tatap, merogoh kantong nya, kemudian memberikan uang seribu rupiah, sambil menggerak kan tangan nya, se olah memberi isyarat kepada ku untuk bertanya. Telunjuk jari ku menunjuk diri ku, sendiri seolah meyakin ka diri, bahwa aku di minta untuk bertanya kepada nenek tua gembel, peyot tadi, sambil tersenyum manis ia menganggukan kepala nya, tanda meng iya kan, bahwa aku lah yang di suruh bertanya. Aku masih terdiam bingung “ Ehhmm, manusia di kereta ini seperti robot, di masukin koin baru ngomong, peradaban yang aneh, atau penyakit jiwa apa ini, fikir ku...!!!!”, Alis nya di taikan ke atas meng iya kan, bahwa aku di suruh bertanya, setelah ku yakin kan jari telunjuk ku berulang kali menunjuk diriku.
“ nek memang nya ga punya anak ?...
“ ga”,
singkat padat, jawaban nya, kembali nenek peyot itu terdiam, kemudian kembali wanita yang cantik itu memerikan uang seribu rupiah kembali, kemudian aku di persilakan bertanya kembali.
“ Rumah nya di mana ?...”
“ Ga punya “.
“ kenapa nenek mengemis sih ?...
“ Lapar “ .
Kejadian yang menyentak hati ku, kereta, nenek peyot dan wanita cantik.

Sabtu, 07 Agustus 2010

BSP



Saat kumasuk, ku tak pernah tahu, bahwa tempat itu namanya sekolah, bahkan pertama kali kudatang aku tak pernah tahu mau apa ?..ku juga tak pernah diberi tahu, bahwa hari ini, hari pertamaku mulai sekolah, hanya berharap, sekolah adalah tempat bermain yang mengasikkan dan tempat banyak mengenal teman-teman baruku. Bingungpun tidak, ku hanya datang menuruti apa yag diperintahkan datang oleh Ibuku. Anak kecil sesusiaku 6 Tahun, berada sendiri, ditempat yang asing, sekolah namanya, jauh dari rumah, sekolah kala itu yang kualami tak seperti, sekarang ini, seperti anak-anak Taman Kanak, dibekali makanan, di antar ke sekolah. Membaca, menulis dan buku…tak pernah kukenal dalam kamus hidupku kala itu, main dan mengasikan itu yang ada dikepalaku, ku hanya menganggap Aku terperangkap dalam sekolah yang memenjarakan untuk berhenti bermain dengan asik.

Satu tahun kumulai mengenal tulisan, akupun tak mengingat, satu tahun itu kuhabiskan untuk apa, tak pernah terekam dalam otakku, hanya yang kuingat kala itu, Aku berak dicelana, ya pertama kali aku masuk sekolah. Ku baru sedikit menyadari, kala itu, kalau sekolah itu punya aturan, untuk tinggal kelas, bukan main marahnya Ibuku kala itu, setiap hari ku dipaksa menuruti kemauan Ibuku untuk belajar membaca, menulis dan  berhitung, menggunakan batang lidi yang dipotong kecil-kecil. Sangat membosankan dan tidak mengenakan. Penjara itu bernama sekolah, tuhan kecil, seperti pabrik mencetak manusia untuk membaca symbol-simbol peradaban yang telah diciptakan para pendahulu, sekolah hanyalah, membaca, menulis dan menghitung, tidak lebih dari itu, lalu apa bedanya dengan orang yang tidak sekolah, kalau Ia membaca, menulis dan menghitung, Ilmiah atau tidak Ilmiah, pengetahuan atau ilmu pengetahuan, berpendidikan atau tidak berpindidikan…?!!! Hampir 7 tahun kulewati di sekolah dasar, membaca, menulis dan berhitung mulai kumengerti sedikit sedikit walau didasari keterpaksaan, lantaran tak naik kelas, kujalani hari-hari disekolah.

Orang Depok

Crew bengkelwarnakomunika

petruk

Jaya 01

Selasa, 03 Agustus 2010

Sialan

Delapan kali gue dijeblosin" kampret nih penyakit" dalam hatinya. Sambil mendorong keras Badrun kepojokan sel penjara, Badrun menahan rasa sakitnya akibat di gebukin siang tadi " sialan...!!! eluh lagi-eluh lagi Drun...emang nya kaga kapok luh, delapan kali keluar masuk. " dengan sedikit menahan rasa sakit sakit Badrun menjawab" apanya yang kapok Mar, keahlian gue cuma nyopet, resiko lah kalo keluar masuk...

sorot creative media

Ondel-ondel

Jumat, 30 Juli 2010

BADRUN SANG PEMBERONTAK

BADRUN SANG PEMBERONTAK
SANG KEKASIH
Sudah sejak Agustus 2000, satu hari setelah hari kemerdekaan Bangsa ini, kukenal ia, sebagai wanita yang penuh perhatian padaku, hingga banyak lelaki lain yang cemburu padaku, Ahhh… Infotaiment pikirku… Anjing menggonggong kafilah berlalu, tak ada lagi waktu kusempatkkan untuk berbagi pada kawan-kawanku, memang wanita membuat goyah keimananku, hanya sesekali Kumenyapa kawan lamaku… tak ada lagi kumpul-kumpul yang biasa ku hadiri bersama kawan-kawanku untuk bicara bagaimana menanyakan kabar pada gembel-gembel,yang senasib denganku, hanya kabar dan salam dari kawan yang menyapaku…enteng saja ku anggapnya, luar biasa panah asmaranya menancap dalam dalam relung jiwaku, romantis benar Aku dikala itu… usiaku padahal masih teramat muda kala itu. Buah bibir sana-sini kudengar sumbang, dari kawanku…seperti biasa ku hanya diam tidak mau ambil pusing, Sialan pikirku’ pengadilan apa lagi ini !...belum saja seumur jagung aku jalan dengannya, ahhh...sudahlah. Aku jalan ke Monas, persis tepat kumenghadap Kedutaan Amerika sambil muntahkan serapah dan kebencianku pada gedung megah itu, hanya itu yang kumampu untuk mengumpat Amerika, entah apa tujuanku kala itu, yang jelas kunyatakan Amerika sebagai bajingan direpublik ini, walaupun yang kutahu hanya nyopet dan jambret.
“ Ma Kopi ”,
ngutang pa bayar ?...
ngutang Ma’
Abis………!!!
Sialan nih nenek-nenek tua, membatin dalam hati..
nanti sore gua bayar Ma’
bayar pake apa’an luh ? kerja aja kaga…
Kusundut rokokku, kutarik dalam, sambil menghembuskan asap rokok keudara…
“kenapa sih ma ngutang aja ga boleh” !...
Utang luh dah banyak…
Drun…eluh beli rokok bisa, giliran kopi utang…luh sial dangkalan juga luh…
Begitu, setiap kali kumuak dengan aparat, pejabat, orang-orang bahkan pacarku, kuselalu, berangkat keMonas duduk menghadap kekedutaan Amerika, kumuntahkan kebencian, sumpah serapah dan semua kedzoliman kehadapan kedutaan besar Amerika yang aku muak kepadanya, disanalah kutumpahkan kebencianku, sehingga mempertebal keimananku akan Kemunafikan Amerika sebagai negara Adidaya yang menindas, menghisap, begitupun terhadap Australia, kumuntahkan juga semua sumpah serapah tentang bangsaku kepadanya, kebencianku, tentang pejabat-pejabat Korup, dan politisi busuk semua kubangun dengan mengarahkannya semangat perlawan dan kumuntahkan, kebencian dan kemuakanku kesemua negara-negara Kapitalis yang licik, Negara-negara yang suka ikut campur tangan ekonomi bangsaku, bajingan kampret, memang, Cara yang kuanggap, menghindari kebencianku terhadap bangsa dan saudara-saudaraku sendiri dari kemuakan terhadap saudar-saudaraku yang korup. Jeblosakan dan tangkap, titik, tak ada kompromi. Kiblat sumpah serapah, Kedutaan Amerika.

Kamis, 29 Juli 2010

BADRUN

MORNING¬¬¬¬¬¬
SELAMAT PAGI….
Pukul 24.00 Menjelang dini hari, disini orang-orang masih menyibukan diri, sibuk penuh kerumunan pada saat tetangga kampung-kampung disekitar terlelap tertidur pulas, pengap, sumpek, berisik dan penuh sumpah serapah orang-orangnya. Anak-anak dibangunkan oleh keterpaksaan yang merenggut malamnya untuk istirahat. Anak-anak disini membawa penyakit jiwa yang diturunkan oleh orang-orang tua mereka yang menjadi warisan berkala yang diterimanya tanpa Hibah melalui kantor–kantor hukum resmi. Pagi saat kebanyakan orang-orang asik siap untuk beraktifitas dan bekerja, mereka asik terlelap tidup, dan tak ingin diganggu, hari-hari yang melelahkan. Sambil keluar rumah dengan muka masam, tak lupa membawa kemarahan, prilaku jiwa yang aneh dan tak lazim bagi anak seusia Badrun, Umur baru 14 tahun, persoalaan 45 Tahun. Membawa beban rumah tangga , menanggung Ibunya yang mulai sakit-sakitan dan 5 orang adiknya yang masih kecil-kecil dan ditambah Ayahnya yang sangat dibencinya.
Seorang yang pembawaan agak pendiam namun keras kepala, raut wajahnya kasar, tarikan wajahnya menyiratkan semangat ketidakpuasan dan pembangkangan yang keras, jelas dari sorot matanya yang tajam Ia Nampak menolak kehidupan selama ini, Seumur hidupnya, mungkin ketika Ia masih dikandungan, yang diceritakan Ibunya, kalo tangisannya membuat gerah pejabat Pemerintah yang kebetulan pada waktu ini tinggal dan bertetangga dengan almarhum kakeknya, kelahiranya yang hanya ditemani sebatang lilin yang hampir Habis nyala apinya, serta bilik bambu dan Bale yang kini menjadi tempat tidurnya, akte kelahirannya pun dicatat pada kayu dingding pojokan rumahnya, dengan sebatang paku karat, yang telah lama disimpannya, berbekal keterampilan menulis sang Ibunda, berbidankan semangat kuat Ibunya sendiri tanpa ruang layaknya seorang pada zamannya lahir, ditemani temaram lampu lilin, dan semangat untuk merendahkan harga diri pejabat serta dokter, dengan tidak meminjam uang kepada pejabat yang kebetulan tetangga nya sendiri, yang kemudian harinya, ia harus menanggung beban hutangnya berkali kali lipat, berikut bayi yang akan dilahirkan juga menaggung beban akibatnya, ya” beban hutang, Bayi menanggung beban hutang. Berbeda dengan lahirnya seorang pembrontak yang merdeka, terlahir tanpa beban hutang, lahir atas karunia Allah SWT dan semangat untuk menjadi orang yang merdeka. Bayi yang terlahir ditengah huru-hara politik ketika Amir Biki ditembaki oleh Tentara, peristiwa pembangkangan terhadap rezim Soeharto, zaman berubah dari rezim penguasa satu kepenguasa lainnya, penguasa dzolim dan lalim, penguasa yang bertamengkan Demokrasi, yang tak pernah kumengerti binatang apa itu, yang kumengerti hanyalah buas, menginjak, membunuh perlahan tapi pasti dan hingga hari ini demokrasiku, demokrasi menahan lapar, mencari makan lewat cara yang tak halal, mencopet dan menjambret orang-orang berduit. Bahkan harampun kini kukatakn halal, apabila perutku lapar, Ibuku sakit, atupun adik-adikku tak makan, juga kawan-senasibku. Kebencian yang dibidani oleh kesusahan hidup, muak dengan prilaku yang kasar, dan merugikan orang, pahitnya kenyataan membunuh ketegaanku untuk melakukan prilaku haram, atau mati ditelan kerasnya hidup, dizaman Cicak dan Buaya bertengkar, dimasa Bank Century Membobol Uang Negara, Dizaman serba muak negara tetangga reseh, mengklaim Batik, Reog Ponorogo, Tari Pendet, Zaman tak Berwibawa, zamanya ketiak Asing jadi parfum..............bersam
bung

BADRUN


BADRUN SANG PEMBERONTAK

KONFLIK NILAI
Priiittt, priwitan Polisi memulai pagi, asap knalpot mengeluarkan asap hitam pekat penuh polusi, udara pagi menjadi kotor dan bau ditambah sumpah serapah orang-orang yang sakit jiwa lantaran digilas zaman dan dihisap darahnya oleh kedzoliman penguasa. Pagi yang semrawut, matahari bergerak semakin tinggi, semakin cepat pula jam berdetak meninggalkan keterlambatan bagi kaum–kaum yang enggan dan menolak kehidupan yang seperti ini, menolak tunduk terhadap kekuasaan asap knalpot yang mengotori udara pagi, menolak dan melawan serta menantang zaman berdarah yang menghisap darah-darah saudaranya dihisap dan dibinatangkan ,tragedy ironi bagi kaum pembangkang, dunia Kapitalis, mereka Kaum pembrontak revolusioner menyebut kaum licik dan sesat kapitalis yang mengatur hidup jutaan bahkan milyaran manusia didunia.
Tragedi dipagi hari ini berulang hingga umurku menginjak 25 tahun. DERUMAN SUARA MOBIL, hembusan knalpot, sumpah serapah pejalan kaki yang dihidangkan asap polusi, kebisingan kota membangunkan Badrun, mataharipun ikut membelah matanya yang tertidur pulas ditaman Kota, “Bangun Gembel, tidak ada yang gratis dikota maling seperti ini”, bangun cepat…dan gembel Tua itupun berlalu tanpa menyiratkan kegelisahan dan semangat bertahan hidup yang tidak layak, tatapan matanya liar, tajam menusuk setiap orang yang memandangnya, bajunya kumal, perawakannya kurus, namun tampak terlihat kuat, rambut gondrong tak terurus dan ditumbuhi uban, tanda umurnya telah senja, Badrun masih mengerang, terasa malas dan lambat…dari kejauhan terdengar “ Cepat bangun gembel” !!!...cepatlah para maling sudah bergerak dari pagi tadi…nanti kau tak kebagian tempat…dasar bocah gembel”, pahit hidup mu Nak…!!!!, Badrun menjawab dengan suara lantang, “ Hei…kakek tua brengsek, jangan berisik, disini, selalu ada tempat bagi para Maling,” Badrun merasa terganggu, dengan kebawelan kakek tua itu, dia bangun dan duduk, memandang sekelilingnya, Badrun tersentak kaget, melihat orang yang berlari cepat, sedang diburu petugas. Heee…Menarik nafas panjang, gue pikir apa kali tadi, maling ngejar maling, sapaan pagi khas kota Jakarta.
Pak polisi sedang mengatur lalu lintas jalan, asap knalpot bus, aktifitas masyarakat kota Jakarta, gedung-gedung tinggi nan megah, mobil mewah dan bus Trans Jakarta melintas dengan segala kebisingannya, Badrun berjalan sambil menuntun nenek yang hendak menyebrang dikepadatan kota, matanya tajam mengawasi setiap langkah orang. Badrun menyelinap diantara keramainan orang, didalam Bis, DiTrotoar, diHalte bis, Di Terminal tangannya lihai menempel dari satu celana ke tas dan celana kembali. Siang bergerak, menghampiri malam, Jakarta kembali bersolek, gemerlap lampu menawarkan eksotisme pada siapa saja, aktifitasnya pun tak kalah sibuk dengan siang tadi, suara bising kafe-kafe, discotique, Jakarta Malam hari membungkam nyanyian binatang malam hari, yang habitanya pun digusur, Binatang Malam berkeliaran, langkah para pejala kaki, hentakan keras irama kota membuat tarian Metropolis dengan sang Maestro Kreografer kemegahan Jakarta. Sudah seminggu ini kakek yang bawel tak bersamaku dikala ku tidur tidak kelihatan, beberapa kali sudah kutanyakan kawan-kawanku, tak satupun dari mereka yang melihatnya, Aku kesepian, tak ada kakek bawel itu lagi disampingku, yang membangunkanku kala matahari mulai mengtintip kondominiumku, Ya’…Kondominium Sebuah bangku Taman yang beratapkan langit, dan bertaburan Bintang…dan bocor dikala Hujan, Kenapa Aku memikirkan sikakek bawel itu ?... yang setiap pagi mengumpatku dengan ocehan baunya “ bangun Gembel, tak ada yang gratis dikota maling ini “, walaupun demikian Aku tak pernah marah kepadanya, Ya’ sosok Kakek Tua dan Gembel, untuk beberapa hari tak ada bersamaku, entah pergi kemana Ia….dimakan anjing hitam dipos Jaga, atau dimakan Cacing-cacing tanah yang rakus…heehh, tak ada kuburan bagimu gembel tua, jika kau mati sekarang heehh….tunggu Aku dulu, sampai Aku Kaya,..akan kutaburi pemakaman kau dengan emas dan berlian, kubuat para maling-maling itu menjadi pesuruhmu,…heii…Pak Tua….Gembelll tuaaa Brengsek…...